Skip to main content

Coretanku

Arash Khalefa Haqiqi

 Helloo.. I'm back. Semoga platform ini belum bersarang karena sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Pun berharap pembaca setianya belum pergi menuju antah berantah. Dunia menulis yang sudah sangat kurindukan. Kembali menjadi diriku dengan versi yang sepi dan sendiri. My latest update. Satu bulan dua puluh tiga hari menjadi ibu. Tubuhku benar-benar bukan milikku lagi. Ada sebagian dari aku yang kini menjadi milik manusia kecil yang juga tercipta dari sebagian tubuhku. Menjadi sosok baru yang sedang bertumbuh. Senang dan penuh haru rasanya menjadi sosok ibu baru. Tapi juga rasanya seperti ada kepingan mimpi lainnya yang semakin bias. Seperti sudah menjadi skenario paten di dunia ini bahwa yang datang akan pergi. Yang menetap, membuat yang tadinya ada akan beranjak meninggalkan. Aku kehilangan dunia lamaku, berganti menjadi bahwa dirikulah dunia bagi anakku. Jari-jari kecil yang saat ini sudah mulai belajar meraih dan menggenggam tanganku. Mata kecil yang berbinar menatapku dengan ta...

Assalamualaikum Gontor Putri !


Assalamualaikum Gontor Putri !


Kuawali tulisan ini dengan mengucap salam. Sebagaimana sikap seorang Muslim disaat saling sapa dengan Muslim lainnya. Sudah lama tak bersua dengan ibu kandung tercinta. Seperti ada panggilan dari dalam hati yang mencuat sebagai ekspresi pertama dengan adanya program Nulis Buku Bareng Alumni Gontor Putri ini. Dan untuk meneruskan kalimat berikutnya, mungkin akan lebih tepat disebut sebagai curahan hati dari lubuk jiwa yang terdasar. Terkadang, disaat kembali memutar memori lama akan kehidupan masa santri memang memunculkan bahasa puitis yang mengalun lembut.
Baiklah, mungkin hanya sedikit part yang akan menjadi sebuah tulisan sederhana kali ini. Semua berawal dari masa Capel (calon pelajar), sekitar 7 tahun yang lalu dari masa penulisan ini. Sebuah spanduk bertuliskan “Ke Gontor Apa yang Kau Cari?” menarik perhatianku untuk pertama kalinya. Sebagai seorang Capel yang tak paham betul akan konsep ke-pesantren-an, awalnya aku tak menghiraukan. Bahkan, tak kujawab hingga waktu yang menjawab segalanya. Ya, jujurnya aku baru bisa mendapatkan jawabannya bahkan baru-baru ini disaat aku telah terbang jauh ke Bumi Kinanah. Sebuah proses metamorfosa yang sangat panjang bagiku saat itu. Disaat seorang perempuan berwajah teduh yang akhirnya kuketahui ialah Ustadzah Pengasuhan saat itu mengatakan jika aku harus menetap sebelum tiba masa ujian masuk Pondok Modern Gontor Putri. Hari itu, untuk pertama kalinya aku mengucurkan derai mata karena harus berpisah dengan orang tua. Mungkin karena selama ini aku terbiasa bergantung pada orang tua, maka memulai dari awal sebuah perjuangan dengan hidup mandiri adalah sesuatu yang tidak mudah.
Benar saja, baru satu hari tertapaki sudah terasa lamban bagai waktu yang sedang berhenti berjalan. Bayangan masa lima tahun kedepan seakan hal mustahil bagiku saat itu. Seperti sedang ada pemberontakan dalam diri ini, tapi tidak. Hati kecilku masih berkata bahwa aku sanggup. Mungkin terasa berlebihan bagi yang membaca tulisan ini. Tapi percayalah, hanya anak-anak pesantren yang dapat membayangkan bagaimana pahit getirnya memulai langkah awal hidup di lingkungan baru bernama Pesantren. Mungkin disini poin penting yang ingin kusampaikan, bahwa a beginning is the hardest part itu berlaku bagi siapapun yang hendak memulai kehidupan baru di tempat yang berbeda. Memang sedikit tertatih melangkah, tapi yakinlah bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan dengan mudah meringankan ayunan langkah selanjutnya hingga nantinya tercipta ribuan jejak langkah yang kalian miliki.
Hal yang tak kalah penting lainnya yang juga menjadi pelajaran berharga sebagai seorang Santri baru adalah tentang penerimaan. Kala itu, disaat kawan sebayaku lainnya tengah disibukkan dengan ujian masuk sekolah SMA favorit mereka, pun aku juga tengah sibuk dengan proses adaptasi dengan lingkungan sekolah baruku. Bahkan meski aku jauh di bumi Ngawi, selalu kusempatkan untuk mendengar kabar terbaru dari kawan-kawan. Padahal, bukan hal penting seharusnya untuk diketahui. Mungkin karena saat itu aku belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa aku telah berada di Pondok Pesantren. Apalagi selepas masa Capel usai dan kembali untuk liburan. Sebelum akhirnya benar-benar masuk ke lingkungan Pondok Modern sebagai santri yang sesungguhnya. Sempat terpikir saat itu untuk mundur saja dan kembali menjadi anak sekolahan yang berseragam putih abu-abu, dulunya inilah yang aku tunggu masa remaja yang bagi sebagian orang menjadi moment tak terlupakan dalam hidup. Tapi pada akhirnya aku mengalah pada takdir-Nya yang jauh lebih indah. Dorongan ayah bunda untuk tetap melanjutkan ke pesantren jauh lebih besar ketimbang keinginan pribadi yang sejatinya hanya sedang menuruti hawa nafsu sesaat.
Perlahan, langkah awal yang kuayun pada masanya tetap bergulir. Melewati fase demi fase kehidupan pesantren yang begitu kuat menancapkan nilai-nilai kehidupan yang sesungguhnya. Dan waktu melesat bagai peluru. Pada akhirnya aku resmi sudah menyandang status santri Pondok Modern Gontor Putri. Kalimat yang seringkali menjadi pengingat bagi seluruh penghuninya adalah, “Di jidat kalian sudah tertulis nama Pondok Modern”. Seakan mantra sakti yang akan merubah sikap siapapun yang merasakannya. Perlahan, rasa ego yang terkadang iri dikala melihat kawan luarku pun sirna. Berganti dengan kebahagiaan baru dengan aktif mengikuti ragam kegiatan Pondok yang kental dengan unsur pendidikan. Seakan terlupa bahwa dulunya aku bahkan tak membayangkan sedikitpun akan terus bertahan. Meski jujur, terkadang ada rasa yang tiba-tiba mencuat mengingingkan untuk segera bebas. Kalau kata kawan sesama santri bilang “Penjara Suci”. Tapi tidak, kembali hati kecil mengatakan bahwa tempat ini adalah Kampung Damai sebagaimana julukan yang telah melekat kuat di Pondok Modern ini.
Sejatinya memang semua kisah ini tentang perjalanan waktu. Jarum jam yang tak pernah letih berputar pada akhirnya mengantarkanku hingga ujung penantian. Selesai dengan menyandang gelar Alumni bukan dimaknai selesai dengan tugas sebagai Penuntut Ilmu. Justru disitulah langkah awal selanjutnya di babak baru dalam kehidupan. Pahit dan manisnya kehidupan sebagai santri kini dapat diputar ulang dengan senyum manis yang merekah. Hari pertama kuinjakkan kaki di tanah perjuangan yang kala itu kukatakan tak sanggup ternyata terlewati juga. Satu hal yang kuyakini hingga detik ini rasa yakin itulah yang membuatku kuat. Disaat aku melihat ratusan bahkan ribuan Alumninya yang berhasil melampauinya, mengapa diri ini tidak. Waktu yang kukira akan berjalan lamban ternyata kini hanya terasa sekerjap mata saja. Kalaulah bukan karena dorongan ayah bunda, mungkin aku tak akan kuat. Kalaulah bukan karena petuah para Kyai dan pendiri Pondok, mungkin aku tak sanggup. Kalaulah bukan karena para Ustadzahku yang ikhlas mengabdi, mungkin aku tak akan merasa bisa melewatinya. Hanya satu kalimat sederhana yang dapat kuungkap, Terima Kasih Pondokku. Mungkin waktu yang kulewati hanya sebentar , namun ada berjuta memori yang tak pernah cukup untuk diulas.
“.. A beginning is the hardest part of my life, but will be happy when it thorough..”




Comments

Popular Posts