Assalamualaikum
Gontor Putri !
Kuawali
tulisan ini dengan mengucap salam. Sebagaimana sikap seorang Muslim disaat
saling sapa dengan Muslim lainnya. Sudah lama tak bersua dengan ibu kandung
tercinta. Seperti ada panggilan dari dalam hati yang mencuat sebagai ekspresi
pertama dengan adanya program Nulis Buku Bareng Alumni Gontor Putri ini. Dan
untuk meneruskan kalimat berikutnya, mungkin akan lebih tepat disebut sebagai
curahan hati dari lubuk jiwa yang terdasar. Terkadang, disaat kembali memutar
memori lama akan kehidupan masa santri memang memunculkan bahasa puitis yang
mengalun lembut.
Baiklah,
mungkin hanya sedikit part yang akan menjadi sebuah tulisan sederhana
kali ini. Semua berawal dari masa Capel (calon pelajar), sekitar 7 tahun yang
lalu dari masa penulisan ini. Sebuah spanduk bertuliskan “Ke Gontor Apa yang
Kau Cari?” menarik perhatianku untuk pertama kalinya. Sebagai seorang Capel
yang tak paham betul akan konsep ke-pesantren-an, awalnya aku tak menghiraukan.
Bahkan, tak kujawab hingga waktu yang menjawab segalanya. Ya, jujurnya aku baru
bisa mendapatkan jawabannya bahkan baru-baru ini disaat aku telah terbang jauh
ke Bumi Kinanah. Sebuah proses metamorfosa yang sangat panjang bagiku saat itu.
Disaat seorang perempuan berwajah teduh yang akhirnya kuketahui ialah Ustadzah
Pengasuhan saat itu mengatakan jika aku harus menetap sebelum tiba masa ujian
masuk Pondok Modern Gontor Putri. Hari itu, untuk pertama kalinya aku
mengucurkan derai mata karena harus berpisah dengan orang tua. Mungkin karena
selama ini aku terbiasa bergantung pada orang tua, maka memulai dari awal
sebuah perjuangan dengan hidup mandiri adalah sesuatu yang tidak mudah.
Benar
saja, baru satu hari tertapaki sudah terasa lamban bagai waktu yang sedang
berhenti berjalan. Bayangan masa lima tahun kedepan seakan hal mustahil bagiku
saat itu. Seperti sedang ada pemberontakan dalam diri ini, tapi tidak. Hati
kecilku masih berkata bahwa aku sanggup. Mungkin terasa berlebihan bagi yang
membaca tulisan ini. Tapi percayalah, hanya anak-anak pesantren yang dapat
membayangkan bagaimana pahit getirnya memulai langkah awal hidup di lingkungan
baru bernama Pesantren. Mungkin disini poin penting yang ingin kusampaikan,
bahwa a beginning is the hardest part itu berlaku bagi siapapun yang
hendak memulai kehidupan baru di tempat yang berbeda. Memang sedikit tertatih
melangkah, tapi yakinlah bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan dengan mudah
meringankan ayunan langkah selanjutnya hingga nantinya tercipta ribuan jejak
langkah yang kalian miliki.
Hal
yang tak kalah penting lainnya yang juga menjadi pelajaran berharga sebagai
seorang Santri baru adalah tentang penerimaan. Kala itu, disaat kawan sebayaku
lainnya tengah disibukkan dengan ujian masuk sekolah SMA favorit mereka, pun
aku juga tengah sibuk dengan proses adaptasi dengan lingkungan sekolah baruku.
Bahkan meski aku jauh di bumi Ngawi, selalu kusempatkan untuk mendengar kabar
terbaru dari kawan-kawan. Padahal, bukan hal penting seharusnya untuk
diketahui. Mungkin karena saat itu aku belum sepenuhnya menerima kenyataan
bahwa aku telah berada di Pondok Pesantren. Apalagi selepas masa Capel usai dan
kembali untuk liburan. Sebelum akhirnya benar-benar masuk ke lingkungan Pondok
Modern sebagai santri yang sesungguhnya. Sempat terpikir saat itu untuk mundur
saja dan kembali menjadi anak sekolahan yang berseragam putih abu-abu, dulunya
inilah yang aku tunggu masa remaja yang bagi sebagian orang menjadi moment tak
terlupakan dalam hidup. Tapi pada akhirnya aku mengalah pada takdir-Nya yang
jauh lebih indah. Dorongan ayah bunda untuk tetap melanjutkan ke pesantren jauh
lebih besar ketimbang keinginan pribadi yang sejatinya hanya sedang menuruti
hawa nafsu sesaat.
Perlahan,
langkah awal yang kuayun pada masanya tetap bergulir. Melewati fase demi fase
kehidupan pesantren yang begitu kuat menancapkan nilai-nilai kehidupan yang
sesungguhnya. Dan waktu melesat bagai peluru. Pada akhirnya aku resmi sudah
menyandang status santri Pondok Modern Gontor Putri. Kalimat yang seringkali
menjadi pengingat bagi seluruh penghuninya adalah, “Di jidat kalian sudah
tertulis nama Pondok Modern”. Seakan mantra sakti yang akan merubah sikap
siapapun yang merasakannya. Perlahan, rasa ego yang terkadang iri dikala
melihat kawan luarku pun sirna. Berganti dengan kebahagiaan baru dengan aktif
mengikuti ragam kegiatan Pondok yang kental dengan unsur pendidikan. Seakan
terlupa bahwa dulunya aku bahkan tak membayangkan sedikitpun akan terus
bertahan. Meski jujur, terkadang ada rasa yang tiba-tiba mencuat mengingingkan
untuk segera bebas. Kalau kata kawan sesama santri bilang “Penjara Suci”. Tapi
tidak, kembali hati kecil mengatakan bahwa tempat ini adalah Kampung Damai
sebagaimana julukan yang telah melekat kuat di Pondok Modern ini.
Sejatinya
memang semua kisah ini tentang perjalanan waktu. Jarum jam yang tak pernah
letih berputar pada akhirnya mengantarkanku hingga ujung penantian. Selesai
dengan menyandang gelar Alumni bukan dimaknai selesai dengan tugas sebagai
Penuntut Ilmu. Justru disitulah langkah awal selanjutnya di babak baru dalam
kehidupan. Pahit dan manisnya kehidupan sebagai santri kini dapat diputar ulang
dengan senyum manis yang merekah. Hari pertama kuinjakkan kaki di tanah
perjuangan yang kala itu kukatakan tak sanggup ternyata terlewati juga. Satu
hal yang kuyakini hingga detik ini rasa yakin itulah yang membuatku kuat. Disaat
aku melihat ratusan bahkan ribuan Alumninya yang berhasil melampauinya, mengapa
diri ini tidak. Waktu yang kukira akan berjalan lamban ternyata kini hanya
terasa sekerjap mata saja. Kalaulah bukan karena dorongan ayah bunda, mungkin
aku tak akan kuat. Kalaulah bukan karena petuah para Kyai dan pendiri Pondok,
mungkin aku tak sanggup. Kalaulah bukan karena para Ustadzahku yang ikhlas
mengabdi, mungkin aku tak akan merasa bisa melewatinya. Hanya satu kalimat
sederhana yang dapat kuungkap, Terima Kasih Pondokku. Mungkin waktu yang kulewati
hanya sebentar , namun ada berjuta memori yang tak pernah cukup untuk diulas.
“.. A beginning is the hardest part of
my life, but will be happy when it thorough..”
Comments
Post a Comment