Skip to main content

Coretanku

Arash Khalefa Haqiqi

 Helloo.. I'm back. Semoga platform ini belum bersarang karena sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Pun berharap pembaca setianya belum pergi menuju antah berantah. Dunia menulis yang sudah sangat kurindukan. Kembali menjadi diriku dengan versi yang sepi dan sendiri. My latest update. Satu bulan dua puluh tiga hari menjadi ibu. Tubuhku benar-benar bukan milikku lagi. Ada sebagian dari aku yang kini menjadi milik manusia kecil yang juga tercipta dari sebagian tubuhku. Menjadi sosok baru yang sedang bertumbuh. Senang dan penuh haru rasanya menjadi sosok ibu baru. Tapi juga rasanya seperti ada kepingan mimpi lainnya yang semakin bias. Seperti sudah menjadi skenario paten di dunia ini bahwa yang datang akan pergi. Yang menetap, membuat yang tadinya ada akan beranjak meninggalkan. Aku kehilangan dunia lamaku, berganti menjadi bahwa dirikulah dunia bagi anakku. Jari-jari kecil yang saat ini sudah mulai belajar meraih dan menggenggam tanganku. Mata kecil yang berbinar menatapku dengan ta...

Setelah satu bulan di Indonesia

 Instead of waiting for perfection, run with what you've got and fix it as you go



Lupa sumbernya, but it hits me a lot. Kalimat diatas sangat tepat untuk aku yang saat ini berada dalam masa-masa krisis. Apapun itu.

Beberapa tulisan sebelum ini, atau bahkan diary pribadi yang aku tulis, banyak menceritakan tentang kegagalan. Entah aku yang memang sugguhan gagal atau sedang tidak mengerti bagaimana cara dunia bekerja. Beberapa tahun terakhir, dibanding pencapaian yang busa aku raih, lebih banyak kegagalan yang aku dapatkan.

Jika saat itu aku tidak memilih mundur, seharusnya di bulan Agustus ini aku terbang ke India, negeri Bollywood sana. Melakukan sebuah misi kemanusiaan sebagai tenaga pengajar bagi anak-anak kurang mampu di desa pedalaman India. Di hari penanda tanganan kontrak aku membuat keputusan untuk tidak menyetujuinya.

Alasannya, aku menuruti kata orang tua untuk tidak pergi ke India. Sebab negeri itu masih tergolong tidak aman bagi perempuan muslim berhijab sepertiku. Apalagi pada misi tersebut, aku akan diberangkatkan seorang diri dari Mesir. Kekhawatiran dan kecemasan pasti akan selau ada jika aku benar-benar memilih untuk pergi.

Kegagalan lainnya, aku sempat menerima beberapa tawaran untuk mengajar di Ibu Kota. Sekolah sekaligus yayasan asrama milik Ustadz Yusuf Mansur. Curiculum Vitae sudah siap aku kirim, lagi-lagi orang tuaku belum memberi lampu hijau untuk itu. Tawaran untuk mengajar di salah satu pondok pesantren di Bogor juga belum busa aku jajaki, masih dengan alasan yang sama. Yang terbaru, tawaran untuk menjadi Dosen praktisi di salah satu Universitas Swasta Al Imarat Bandung. Namaku bahkan sudah terdaftar disana karena semua berkas lamaranku sudah terpenuhi, minus ijazah Universitas yang memang belum keluar dari pihak kampus.

Aku berani menuliskan kegagalan, sebab aku tak ingin ada seorangpun menganggapku hebat atau keren. Bahkan jika semua peluang di atas ataupun kesempatan lain yang aku lewatkan bisa terlaksana semua. Tetap aku tak ingin ada pengakuan dari siapapun tentang diriku. Aku masih sangat meyakini bahwa di atas langit masih ada langit. Di dunia ini, akan selalu ada orang yang jauh lebih hebat dari kita dalam segi apapun. 

Berbicara tentang beberapa kegagalan yang aku tulis di atas, semuanya memilik satu alasan yang sama persis. Tidak ada izin dari orang tua. Sejak kecil aku selalu tumbuh dengan jiwa yang harus nurut dan patuh keduanya. Dan itu bagus menurutku, tidak ada yang salah. Karena ridha Allah sudah pasti terletak pada keduanya juga. Jadi aku masih meyakini bahwa firasat orang tua tidak akan meleset, dan hal buruk tidak akan terjadi jika aku menuruti mereka.

Jalan hidupku pun juga terbentuk berkat restu orang tua. Hal yang aku rasakan adalah, belum sekalipun aku mengambil sebuah keputusan besar tanpa meminta izin terlebih dulu kepada mereka. Pilihan apapun itu, termasuk langkah yang hingga hari ini bisa menyelesaikan 8 semester di bangku perkuliahan jurusan sastra Arab.

Hingga detik ini, dalam diriku seperti terdapat dua suara hati. Satu sisi aku selalu ingin mendengarkan apa yang orang tuaku pilihkan. Sisi lainnya selalu mengatakan hal yang sebaliknya. Namun apa yang orang tuaku pilihkan untukku untuk hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan dan karirku kedepan. Dua hal inilah yang sejujurnya, ada banyak hal yang tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan. Tapi karena sebuah keyakinan besar, aku masih sangat percaya bahwa pilihan mereka tidak akan menjerumuskanku.

Hal lainnya adalah saat aku mengurungkan niat dan mimpiku untuk terus menggali potensi dengan menekuni bahasa asing, bukan bahasa Arab tentunya. Aku sempat memiliki niatan untuk mengambil kursus secara serius hingga aku bisa mencapai target yang aku inginkan. Lagi-lagi, keinginan itu sepertinya hanya bisa aku pendam. Aku harus cukup berpuas dengan belajar mandiri secara otodidak melalui plalform seadanya yang bisa aku akses.

Seperempat abad ini aku belajar, bahwa pencapaian dan kegagalan nejadi dua hal yang berbanding lurus. Semakin banyak keinginan yang sangat ingin aku gapai, akan ada banyak kegagalan pula yang mungkin aku terima. Tapi tak apa, proses kehidupan inilah yang esok lusa akan memberikan hasil rapornya. Belajar untuk menerima dan terus melakukan pilihan orang tua akan tetap menjadi keputusan terbaik.

Semoga.. ✨️

Saturday, August 12th 2022

09.20 clt

Comments

Popular Posts