Search This Blog
Sebuah catatan hati yang terserak. Hello.. I'm Wildah Binashrillah. I just commited to serving you to become the best version of your-self and only writing down the thoughts of the moment because every word has its limits. Hanya bisa menulis sebuah tulisan sederhana, bukan penulis yang tahu segalanya.
Coretanku
- Get link
- X
- Other Apps
Budaya tebar salam
Satu lagi budaya Mesir yang patut diacungi jempol. Sebuah negeri dengan wilayah yang hampir seluruhnya tandus oleh Sahara namun tidak pernah kering dari angin segar 'salam' yang ditebar di seluruh penjuru. Dibalik kerasnya watak mereka yang cenderung kasar dan suka berteriak kepada satu sama lain, mereka tetap membudayakan untuk saling bertegu sapa dengan salam kepada siapapun.
Aku sudah menetap di negeri ini hampir 4 tahun lamanya, seharusnya budaya yang mereka anut juga sudah menjadi bagian dariku. Tapi begitulah manusia, terkadang lupa atau bisa jadi salah. Aku diingatkan oleh satu peristiwa kecil hari ini.
Sabtu siang, aku beranjak dari singgasana flat lantai 4. Matahari terasa terik tapi tidak dengan anginnya yang dingin menembus jaket semi tipisku. Jembatan layang di Kawasan Masjid Sayyidah Aisyah riuh gaduh seperti biasanya. Pedagang kaki lima menghamparkan dagangannya di sepanjang trotoar jalanan. Penuh dan sesak oleh kerumunan. Aku mengeluh, tapi sesaat aku melihat beberapa penjual yang dagangannya terlihat sepi bahkan tak tersentuh aku jadi luluh. Keluhku kalah oleh rasa iba.
Memasuki pintu utama Hadiqoh aku menghampiri Ammu penjaga tiket, "Ammu Tazkaroh law Samah? Aiz Nafar!"
Si ammu hanya diam tidak menggubris pintaku.
Akhirnya aku ulangi sekali lagi, "Ma'lisy Ammu, Aiz Tazkaroh mumkin? Bass wahdah!" Sampai kuulang ketiga kalinya dia masih diam.
Hingga akhirnya ia mulai berucap dengan muka sangar. Deg, jantungku berdegup. Kenapa muka Si Ammu berubah sangar. Kemudian ia menjelaskan panjang lebar.
Ia berkata sengaja tidak menggubris ucapanku karena menurutnya apa yang kulakukan tidak sopan. Sebagai Muslimah seharusnya aku menyapanya terlebih dahulu. Mengucap salam sebagai tanda awal memulai segala sesuatunya dan sedikit berbasa-basi menanyakan kabar atau hal kecil lainnya. Sebagai pembuka sebelum meminta suatu hal ke orang lain, bahkan meski dengan seseroang yang tak dikenal sekalipun.
Kemudian aku teringat dengan satu hadits yang kala itu aku dapatkan saat masih duduk di kelas satu intensif KMI. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, berisi tentang hak sesama muslim itu ada enam. Dan salah satunya adalah apabila kepada sesama Muslim hendaknya kita saling berucap salam saat berjumpa. Maka ucapan Ammu tadi benar, mengapa aku seakan tidak mengamalkan atas apa yang aku dapat.
Si Ammu tersebut juga mengatakan bahwa meski Mesir didominasi oleh tiga kepercayaan besar yaitu Islam, Yahudi dan Kristen Koptik mengucap salam kepada sesama adalah bentuk penghormatan kecil yang sudah menjadi budaya mereka. Itu sebabnya ia menganggap orang asing sepertiku seakan berbuat hal yang tidak sopan jika tidak mengikuti budaya yang sudah mereka biasakan kepada siapapun.
Aku merasa tersentak, bukan karena ucapan si Ammu yang memang terdengar garang. Namun karena aku sebagai Muslimah malu dengan teguran kecil tersebut. Apalagi aku juga masih berasal dari suku Asia yang dikenal sangat ramah oleh siapapun. Budaya dalam seperti ini seharusnya sudah melekat. Tidak boleh terlupa dengan hak kecil seperti ini. Terlepas dari kepercayaan apapun, bukankah saling bertegur sapa kepada sesama adalah perbuatan yang mulia. Apalagi kepada sesama umat Islam. Akhlak yang mulai adalah tolak ukur bagaimana seorang Muslim dapat dinilai baik. Meski bukan dengan tujuan demi dianggap baik oleh makhluk. Karena memiliki akhlak adalah perangai yang bahkan kedudukannya berada lebih awal sebelum mempelajari sebuah Ilmu.
Hadiqoh Sayyidah Aisyah, Kairo
Sabtu, 30 Januari 2021
15.30 clt
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment