Dalam hidup, aku berpacu dengan waktu. Semakin hari, aku merasa waktu melesat begitu cepat. Sepeti desingan peluru perang. Entahlah, mungkin terdengar berlebihan. Tapi percayalah, waktu terkadang sebercanda itu. Baru rasanya beberapa saat yang lalu Ayah mengantarkanku mengukur baju seragam sekolah SMP ku kala itu. Hari ini justru aku telah berjalan di atas Padang pasir yang ribuan kilometer jauhnya dari singgasana kecil rumahku. Aku bahkan semakin merasa selama hidup hanya antar jarak ujian termin 1 menuju ujian termin 2. Oh God, secepat itukah waktu berlalu?
Aku tidak sama sekali menyesalkan atas apapun keadaanku di masa ini. Aku semakin ingin membuka cakrawala bahwa sesungguhnya, aku hanya hidup di hari ini, detik ini juga. Hari yang kemarin sudah berlalu, sedang esok aku pun tak tahu. Apakah hidupku masih akan baik-baik saja. Sebagai pemegang agama yang baik, harusnya aku selalu menggantungkan hanya kepada Tuhan Yang Esa. Garis takdirku sudah diatur, begitu ritmenya. Namun untuk menjalani waktu yang ada, aku tak bisa berpasrah begitu saja. Hingga detik aku masih menghembuskan napas detik ini, aku masih dituntut untuk terus mengupayakan hal baik dalam hidupku. Tuhan yang menegaskan, namun manusia yang berproses. Seperti itulah hidup.
Aku tidak akan mau lagi merasa kecewa dengan hal apapun yang mungkin akan terjadi dan tak pernah kuduga sebelumnya. Bukan semesta yang sedang bermain-main dengan hidup kita. Namun sekali lagi, semua ini sudah ada dalam perencanaan Tuhan. Akupun begitu, aku sedang berjalan di atas garis takdir yang Tuahn inginkan terhadapku. Mungkin ada banyak sekali hal-hal yang menjadi kehendak ku. Namun biar keputusan, ada pada-Nya.
Juga disetiap harinya, selain ada banyak hal tentang diri ini yang kurenungkan. Ada suatu hal yang juga wajib aku tunaikan. Setidaknya aku bagi menjadi tiga dalam setiap hari ku. Waktu dalam hidup yang tak boleh aku lewatkan. Pertama, aku harus memiliki waktu dengan Tuhanku. Sembahyang, membaca Kalam Ilahi, juga menunaikan perintah lainnya bukan sekedar seremonial harian. Esensinya bukan semata menggugurkan kewajiban. Namun sebuah kebutuhan mutlak hamba terhadap Tuhannya. Bukankah diri ini berasal dari-Nya. Lantas siapa aku yang berani sejengkal menjauh dari Zat Yang telah membuatku ada. Kedua, waktu untuk manusia disekelilingku. Bukankah menjadi manusia adalah disaat aku mampu menjadi yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Bukankah sejak awal aku dilahirkan aku membutuhkan kedua tangan yang bersedia membuatku selalu merasa hidup. Lantas bagaimana ketika hari ini aku mampu berdiri dengan kaki sendiri justru tak mampu menjadi orang yang berguna bagi orang disekitarku. Meski aku paham, kemampuanku terbatas untuk dapat terus diandalkan oleh orang lain. Setidaknya aku selalu berusaha untuk membantu dan memberikan hal baik bagi orang disekelilingku. Aku terlalu takut bahkan, jika ketidak hadiran ku pun tak akan membuat orang lain tak merasa kehilangan. Jadi, berusahalah terus menjadi sosok yang berguna. Ketiga, aku akan selalu menyediakan momen untuk diriku sendiri. Untuk merenung dan bermuhasabah. Aku akan selau berbagi dengan diriku sendiri. Bertanya sudah sejauh apa hal positif yang aku lakukan dari sekian banyak waktu yang sudah terlewati. Aku akan meluangkan waktu untuk bercakap dan berdialog dengan hati sendiri. Kemudian bertanya, apakah raga dan jiwaku tetap baik-baik saja. Kuharap selalu begitu.
Dan pada akhirnya, semua hal tentang waktu ini akan selalu berputar dalam memoar kehidupan. Agar aku tak menjadi manusia yang menyesal, kuharap aku bisa menjadi sosok yang terus membaik di setiap detiknya. Menjadi pribadi yang terus bertumbuh dengan nilai-nilai sesuai dengan yang Tuhan kehendaki. Semoga..
Darb el-Rashas, Sabtu 8 Februari 2020
22.28 clt
#selamatmalam
Comments
Post a Comment