Skip to main content

Coretanku

Arash Khalefa Haqiqi

 Helloo.. I'm back. Semoga platform ini belum bersarang karena sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Pun berharap pembaca setianya belum pergi menuju antah berantah. Dunia menulis yang sudah sangat kurindukan. Kembali menjadi diriku dengan versi yang sepi dan sendiri. My latest update. Satu bulan dua puluh tiga hari menjadi ibu. Tubuhku benar-benar bukan milikku lagi. Ada sebagian dari aku yang kini menjadi milik manusia kecil yang juga tercipta dari sebagian tubuhku. Menjadi sosok baru yang sedang bertumbuh. Senang dan penuh haru rasanya menjadi sosok ibu baru. Tapi juga rasanya seperti ada kepingan mimpi lainnya yang semakin bias. Seperti sudah menjadi skenario paten di dunia ini bahwa yang datang akan pergi. Yang menetap, membuat yang tadinya ada akan beranjak meninggalkan. Aku kehilangan dunia lamaku, berganti menjadi bahwa dirikulah dunia bagi anakku. Jari-jari kecil yang saat ini sudah mulai belajar meraih dan menggenggam tanganku. Mata kecil yang berbinar menatapku dengan ta...

How I got My American Accent

 

HOW I GOT MY AMERICAN ACCENT~

Untuk ide konten postingan semacam ini biasanya aku menemukan banyak video di Youtube, karena mungkin memang akan lebih mudah dan menyenangkan untuk disimak jika dalam bentuk verbal dan visual yang mendukung. But yeah, again aku bukan seorang Youtuber. Kemampuanku untuk saat ini mungkin terbatas menuangkan apa yang aku simpan di otak dalam bentuk kata-kata. Jadi akan lebih baik jika aku menuliskan satu pengalaman ini dalam platform lainnya. Semoga apa yang aku lalui bisa memberi manfaat dan sedikit menginspirasi !

Alasan mengapa akhirnya aku memiliki niatan menuliskan dan berbagi kisah tentang ini karena ada banyaknya pertanyaan yang ditujukan untukku. Yaah jelas tidak sebanyak artis atau influencer yang menerima ribuan pertanyaan. Tiga juga bisa disebut banyak kan?hehe.. Selain menjawab secara personal kepada siapapun yang bertanya saat itu, maka tidak ada salahnya jika aku ingin mengabadikan jawaban tersebut secara permanen. Biarkan jejak digital yang nantinya menyimpan file yang memang ingin aku sebarkan. Kurang lebih alasan sederhananya seperti itu.

Semua orang yang mengenalku baik di dunia nyata atau yang sekedar tahu lewat media sosial pasti sangat mudah mengenaliku bahwa aku anak keturunan Indonesia asli. Gurat wajah dan fisikku y sangat bisa dikenali bahwa tidak ada garis darah blasteran Barat atau manapun itu dengan bahasa ibu Inggris. Aku sejak kecil tumbuh dan dibesarkan dengan lingkungan yang kental akan bahasa Jawa. Karena memang aku lahir dan tinggal di tanah Jawa. Karena darah kalimantan yang diwariskan Umik sama sekali tidak memberi pengaruh besar. Namun meski seiring berjalannya waktu, Umik selalu mengajarkan untuk lebih baik bertutur kata baik. Dengan alasan itulah, aku berkomunikasi dengan teman sebayaku di sekolah sejak SD hingga masa SMP menggunakan bahasa Indonesia lebih banyak dibanding berbahasa Jawa. Bukan berarti aku mengatakan bahwa Bahasa Jawa tidak baik, tapi bagiku level berkomunikasi dengan bahasa Jawa yang aku mengerti tidak bisa aku gunakan kepada semua kalangan. Aku bisa berbicara lancar bahasa Jawa yang tidak terlalu halus, meski aku mengerti maksdnya juga semua kosakata Jawa yang kasar sekalipun.

Long-Short Story, paragraf sebelumnya hanya latar belakang singkat tentang bagaimana lingkungan membentukku dengan bahasa yang sangat familiar digunakan sehari-hari. Berikutnya aku akan membagi kisah bagaimana aku bisa berkenalan dengan bahasa asing selain Jawa dan Indonesia yang sudah menjadi Bahasa Ibu bagiku. Kapanpun aku mengingat bagaimana aku mengawalinya, aku selalu merasa seperti berselancar dalam memori di masa itu.

Aku pernah menuliskan dalam salah satu postingan beberapa bulan yang lalu. Sejak kecil, aku adalah peniru yang ulung dari kakak. Dengan rentang usia yang tidak terlalu jauh, aku menjadikannya sebagai role model panutan dalam melakukan banyak hal. Dan bahasa inggris salah satunya. Dimulai saat ia yang satu tingkat diatasku sudah lebih dulu mahir berbahasa inggris dengan bergabung dalam Klub Ekstrakurikuler “English Club”. Aku sangat tertarik di fase itu, sebagai anak kelas 3 SD aku menganggap bahwa berbagai jenis kegiatan yang dilakukan kelompok ekskul tersebut sangat keren dan menjadi bagian di dalamnya tentu sangat menyenangkan. Hingga tepat satu tahun berikutnya, para siswa kelas 4 sudah bisa mendaftar dan yang terpilih seleksi akan lolos sebagai anggota tetap ekskul tersebut.

Kemampuan berbahasa inggrisku saat itu masih sangat jauh dibawah rata-rata. Aku hanya mampu mengerti materi yang sudah diajarkan di kelas saja. Tidak lebih. Untuk seleksi tulis aku merasa masih bisa mempelajarinya dengan mengambil beberapa maklumat di buku pelajaran dalam kelas. Bahkan aku masih ingat betul, saat akhirnya aku lolos masuk ke tahap akhir yaitu speaking. Sang Tutor yang bernama Mr. Andi and Mrs. Ita memberi satu naskah cerita sederhana berbahasa Inggris. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara menceritakan ulang dari alur cerita yang bisa kupahami. Aku tidak tahu bagaimana caranya, yang terlintas dipikiranku saat itu hanyalah menghafal. Ya, benar. Akhirnya aku putuskan untuk menghafalkan hampir seluruh cerita yang tertulis dalam lembar naskah tersebut. Bahasaku sangat kaku dan cerita yang kusampaikan terdengar monoton. Sama sekali tidak menghibur. Entah berdasarkan apa standarisasi penilainnya, akhirnya aku masuk menjadi bagian anggota “English Club”. Dengan almamater warna merah jambu muda, aku sangat bangga mengenakannya saat program ekskul dimulai.

Singkat cerita, dari sanalah aku memiliki rasa kertertarikan yang lebih terhadap bahasa inggris. Dengan beberapa pengalaman masa sekolah dasar itulah yang mengantarkanku untuk mengenal lebih jauh dengan bahasa Internasional pembuka wawasan dunia itu. Meski aku sama sekali tidak tampak unggul dalam saat itu (ya sampai hari ini juga, xoxo) tapi aku sangat memperhatikan dan merekam segala memori metode pembelajaran yang mengasyikkan di kegiatan luar kelas tersebut. Mulai dari kegiatan harian yang diadakan di luar jam sekolah, berlatih reading, speaking dan listening. Sampai mencari kegiatan di luar kelas dengan menemui langsung para native speaker atau berjalan-jalan ke kawasan wisata yang biasa didatangi turis dan seluruh anggota ‘English Club’ yang masih duduk dibangku sekolah dasar itu berani mengaplikasikan hasil proses belajar di dalam kelas bersama tutor-tutor yang sangat fasih berbahasa Inggris.

Semua hal yang aku lalui agar bisa berbicara seperti orang ‘Amerika’ sungguhan tidak terjadi secara instan. Mungkin kedua orang tuaku pun tidak menyadarinya bahwa aku mempunyai ketertarikan yang lebih di mata pelajaran ini. Bisa jadi karena faktor usia juga yang saat itu masih dibilang anak-anak, mereka lebih mengarahkanku pada kemampuan di bidang akademik lainnya. Aku masih ingat betul bahkan, salah satu buku pegangan yang diajarkan di kelas ekskul semacam Course Book berukuran lebih besar dari buku pelajaran pada umumnya. Cover buku halaman berwarna hijau muda selalu aku baca setiap hari. Bahkan meski masih banyak materi-materi yang tidak aku pahami. Aku tetap semangat membacanya. Lagi-lagi, aku meniru bagaimana cara mengucapkan kata demi kata dalam bahasa inggris secara fasih dari kakakku.

Ada satu rahasia lainnya yang sama sekali belum pernah aku ceritakan pada siapapun. Kali ini akan aku beri tahu. SSsttt.. jangan bilang siapa-siapa ya!Hihi Sejak aku jatuh cinta dengan bahasa inggris, aku jadi lebih sering mengucap kata atau kalimat apapun yang bahkan aku tidak mengerti artinya. Namun karena aku masih merasa malu jika berbicara bahasa inggris, ditengah-tengah lingkungan dan teman-teman yang semuanya hampir berbahasa Jawa tanpa jeda. Aku malu atau bisa dibilang juga malu jika berbahasa inggris. Iya takut, takut dibilang sok-sokan dan sebagainya. Akhirnya aku memutuskan melatih kemampuan bahasa inggrisku di dalam kamar mandi. Jadilah aku memiliki sebuah ritual yang sebelum mandi, aku berbicara bahasa inggris dengan kosa kata apapun yang aku tahu. Setiap harinya, jika aku mendapat kosa kata yang baru akan aku ulang-ulang dan mencari tahu bagaimana aku bisa mengucapkannya dengan tepat dan benar.Fokus dan targetku saat itu sederhana, jika aku berbicara dengan bahasa inggris akan terdengar seperti orang Amerika asli. Saat itupun aku belum mnegrti tentang tenses dan grammar. Aku sengaja menyalakan keran bak mandi agar suara yang aku ucapkan tidak terdengar sampai luar. Akan sangat malu jika ada orang lain yang mengetahuinya, bahkan jika itu orang tua dan kakakku sendiri. Kebiasaan inilah yang terus aku lakukan hingga masuk bangku sekolah menengah pertama.

Semua passion yang sangat aku senangi itu masih terus terpendam. Cita-cita untuk mengasah skill berbahasa inggrisku itu bahkan hampir sirna saat akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke Madrasah Tsanawiyah atau MTs. Karena aku memiliki impian lainnya, menjadi anak pesantren. Waktu tiga tahun yang lalui bisa dibilang membuatku terlupa bahwa aku punya passion di bidang bahasa inggirs. Disana justru aku menemukan keasyikan lainnya yang menurutku juga menjadi peluang untuk mencari bakat dan skill yang aku miliki sebenarnya. Padahal, jika bisa aku tarik kembali ada banyak hal yang bisa aku lakukan dan menjadi perantara yang mengantarkau agar orang lain mengenalku sebagai sosok yang cukup bisa diandalkan dalam bidang bahasa inggris. Namun jauh dari dalam lubuk hati, aku tidak benar-benar meninggalkan bahsa inggris. Kebiasaan berceloteh di dalam kamar mandi masih aku teruskan, bahkan aku menambah kebiasaan lainnya. Aku senang membaca artikel atau buku bacaan dan apapun tulisannya yang berbahasa inggris.

Aku juga senang mendengarkan lagu berbahasa inggris. Mendengarkan pidato dan mencoba menirukannya ulang. Dan lagi, aku masih malu untuk menampakkannya di depan umum. Semua usaha yang kulakukan demi memiliki aksen yang sama persis dengan orang Amerika aku lakukan diam-diam. Aku tidak ingin orang lain tahu terlebih dahulu. Biarkan aku menikmati proses sulit demi hasil yang aku sangat yakin suatu saat bisa aku capai.

Oh ya, ada satu bagian yang ingin aku ceritakan. Saat itu kelas 8, ada satu program yang mendatangkan beberapa pengajar Kampung Inggris Pare. Mereka ingin melakukan promosi sekaligus program singkat metode pembelajaran bahasa inggris yang menarik dan seru. Semua rangkaina kegiatannya aku ikuti dengan baik karena aku sangat antusias.  Ada satu yang masih kuingat betul, saat sesi kegiatan spelling yang mana saat itu Tutor atau kakak-kakak pengjaranya hanya membolehkan kami berbicara bahasa Inggris. Disanalah untuk pertama kalinya aku memberanikan diri untuk mulai berbicara dengan aksen yang terdengar cukup fluent. Sang Tutor cukup terkejut mendengar gaya bahsa yang aku sampaikan dan memberikan apresiasi yang sangat memanmbah eyakinanku bahwa aku pasti bisa mengusahakan yang lebih baik.

Waktu berlalu. Pada akhirnya aku sampai pada suatu tempat yang memberi wadah dengan tepat. Pesantren tempat aku nyantri mewajibkan santrinya dengan dua bahasa saja atau yang lebih dikenal dengan Bilingual Area. Setiap minggu bahasa Inggris aku sangat bersemangat dan lagi-lagi, saat aku masih berada di kelas satu atau setara dengan kelas X Sekolah Menengah Atas. Para pemimbing rayon merasa sedikit terkejut dengan pola speaking yang aku gunakan. Aku mencoba menerapkan hasil latihanku bertahun-tahun di kamar mandi selama ini, hihi.. tidak sia-sia juga kelas level bathroom karena berguna juga, kataku dalam hati. Nah sejak aku di pesantren inilah yang perlahan menghilangakn kebiasaanku berceloteh di kamar mandi. Karena memang aku sudah menemukan wadah yang tepat tanpa harus merasa malu dianggap sebagai anak suku jawa yang sok-sokan berbahasa Inggris. Aku mulai meningkatkan kualitas speakingku dengan selalu menggenggam kamus Oxford  mini di banyak kesempatan. Mencoba mencocokkan sebuah kata dengan cara pelafalan yang benar dan tepat.

Ada satu moment dimana aku merasa gagal untuk meraih tangga kesuksesan. Aku yang sebetulnya masih memiliki sikap demam panggung yang luar biasa akhirnya harus merelakan kesempatan agar bisa tampil di depan ribuan santri dalam ajang acara besar bergengsi para santri. Padahal dalam tahap seleksi naskah, materi yang aku tulis dibilang menarik dan bagus. Aksen dan gaya bahasa yang aku pakai juga tepat. Namun sayang, rasa grogi dan nervous masih belum cukup dikatakan layak tampil. Aku merasa gagal, tapi ya sudahlah. Mungkin ada kesempatan lain yang bisa aku coba kembali.

Sampai akhirnya aku memiliki keempatan yang jauh lebih besar. Dimulai saat masa menjadi santri mukim yang akan naik tingkat sebagai Siswi Akhir. Kemampuan bahasa inggrisku mulai banyak dikenal banyak teman senagkatan dan akhirnya diakui oleh guru-guru yang menjadi pembimbing saat itu. Aku diberi amanah dan tampil dalam beberapa kesempatan event yang mengaruskanku berbicara bahsa inggris di depan ribuan santri. Maka minggu bahasa inggris menjdi salah satu bagian kegiatan pondok yang sangat aku tunggu. Meski impian menjadi peserta public speaking gugur, kesempatan besar itu tetap bisa aku rasakan dengan posisi yang berbeda. Bahkan ada satu event besar lainnya pula yang memberiku satu tropi berharga pertama yang bisa menjadi modalku untuk meyakinkan orang tua bahwa aku memiliki passion di bidang ini.

Masa santriku akan segera usai, waktu pengabdian satu tahun yang akan menjadi penentu kemana aku akan melangkah. Aku akhirnya memberanikan diri untuk menyampaikan harapan yang selama ini masih menjadi angan. Aku ingin meneruskan kembali impian yang tertunda itu, bersekolah di negeri yang berbahasa ibu Inggris asli. Namun lagi, aku dikalahkan oleh realita. Bukan aku kehilangan mimpi, hanya saja tempat yang harus aku datangi tidak harus Negeri Barat. Arah yang sangat mungkin aku tuju adalah Timur. Sebab jika aku mampu menaklukkan Timur, langkah kakiku masih bisa lebih jauh menuju Barat. Namun jika Barat menjadi tumpuan utamaku, maka Timur akan mustahil bisa aku rengkuh. Begitulah kurang lebih kesimpulan yang bisa aku jadikan pegangan yang akhirnya meyakinkanku untuk mantab memilih Bumi Kinanah hingg hari ini.

Setelah kisah yang cukup panjang, meski aku tak dapat menumpahkannnya dengan detail disini. Kini aku hidup di hari ini, passion yang begitu kuat masih tertancap. Tidak goyah sedikitpun. Aku sangat bersyukur hidup di zaman dengan teknologi yang kian canggih. Kini ada banyak wadah yang bisa menampung minat dana passion yang sudah sejak dini aku perjuangkan. Aku bisa lebih bebas berekspresi saat ini. Melalui tulisan-tulisan yang aku rangkai, aku hadirkan dalam banyak wujud yang beragam. Aku ingin hal-hal psotif yang aku dapatkan tidak hanya aku nikamti sendiri. Aku ingin ada orang lain yang juga tergugah karenanya. Semoga segala hal yang aku perjuangkan tidak berakhir sia-sia.

Alasan besar lainnya yang akhirnya baru kutemukan akhir-akhir ini. Saat pertanyaan itu terlontar dari suara batinku sendiri. “Kenapa aku harus bisa dan lancar berbahasa Inggris?” Jawabannya adalah, “Karena aku ingin menjadi seorang wanita muslimah yang mengerti. Meski aku tidak cerdas dalam akademik atau yang lainnya, setidaknya ada satu bidang bahasa yang aku mengerti dan itu yang dipahami oleh banyak manusia di banyak belahan dunia lainnya. Aku ingin membuka wawasanku tentang dunia, tentang apa yang saat ini banyak diperbincangkan oleh dunia. Aku tidak boleh tertinggal.”

Perjalanan belum usai, masih ada banyak pintu lainnya dalam bahasa Inggris ini yang belum aku mengerti.

Semoga bermanfaat!!

 

 Darb El-Badr, Gamaleyah, Darrasah, Cairo

Sunday, October 24th 2021

23.04 clt

Comments

Popular Posts