Search This Blog
Sebuah catatan hati yang terserak. Hello.. I'm Wildah Binashrillah. I just commited to serving you to become the best version of your-self and only writing down the thoughts of the moment because every word has its limits. Hanya bisa menulis sebuah tulisan sederhana, bukan penulis yang tahu segalanya.
Coretanku
- Get link
- X
- Other Apps
How I got My American Accent
HOW I GOT MY AMERICAN ACCENT~
Untuk ide
konten postingan semacam ini biasanya aku menemukan banyak video di Youtube,
karena mungkin memang akan lebih mudah dan menyenangkan untuk disimak jika
dalam bentuk verbal dan visual yang mendukung. But yeah, again aku bukan seorang
Youtuber. Kemampuanku untuk saat ini mungkin terbatas menuangkan apa
yang aku simpan di otak dalam bentuk kata-kata. Jadi akan lebih baik jika aku
menuliskan satu pengalaman ini dalam platform lainnya. Semoga apa yang aku
lalui bisa memberi manfaat dan sedikit menginspirasi !
Alasan mengapa
akhirnya aku memiliki niatan menuliskan dan berbagi kisah tentang ini karena
ada banyaknya pertanyaan yang ditujukan untukku. Yaah jelas tidak sebanyak
artis atau influencer yang menerima ribuan pertanyaan. Tiga juga bisa disebut
banyak kan?hehe.. Selain menjawab secara personal kepada siapapun yang bertanya
saat itu, maka tidak ada salahnya jika aku ingin mengabadikan jawaban tersebut
secara permanen. Biarkan jejak digital yang nantinya menyimpan file yang memang
ingin aku sebarkan. Kurang lebih alasan sederhananya seperti itu.
Semua orang
yang mengenalku baik di dunia nyata atau yang sekedar tahu lewat media sosial
pasti sangat mudah mengenaliku bahwa aku anak keturunan Indonesia asli. Gurat
wajah dan fisikku y sangat bisa dikenali bahwa tidak ada garis darah blasteran
Barat atau manapun itu dengan bahasa ibu Inggris. Aku sejak kecil tumbuh dan
dibesarkan dengan lingkungan yang kental akan bahasa Jawa. Karena memang aku
lahir dan tinggal di tanah Jawa. Karena darah kalimantan yang diwariskan Umik
sama sekali tidak memberi pengaruh besar. Namun meski seiring berjalannya
waktu, Umik selalu mengajarkan untuk lebih baik bertutur kata baik. Dengan alasan
itulah, aku berkomunikasi dengan teman sebayaku di sekolah sejak SD hingga masa
SMP menggunakan bahasa Indonesia lebih banyak dibanding berbahasa Jawa. Bukan berarti
aku mengatakan bahwa Bahasa Jawa tidak baik, tapi bagiku level berkomunikasi
dengan bahasa Jawa yang aku mengerti tidak bisa aku gunakan kepada semua
kalangan. Aku bisa berbicara lancar bahasa Jawa yang tidak terlalu halus, meski
aku mengerti maksdnya juga semua kosakata Jawa yang kasar sekalipun.
Long-Short Story,
paragraf sebelumnya hanya latar belakang singkat tentang bagaimana lingkungan
membentukku dengan bahasa yang sangat familiar digunakan sehari-hari. Berikutnya
aku akan membagi kisah bagaimana aku bisa berkenalan dengan bahasa asing selain
Jawa dan Indonesia yang sudah menjadi Bahasa Ibu bagiku. Kapanpun aku mengingat
bagaimana aku mengawalinya, aku selalu merasa seperti berselancar dalam memori
di masa itu.
Aku pernah
menuliskan dalam salah satu postingan beberapa bulan yang lalu. Sejak kecil,
aku adalah peniru yang ulung dari kakak. Dengan rentang usia yang tidak terlalu
jauh, aku menjadikannya sebagai role model panutan dalam melakukan
banyak hal. Dan bahasa inggris salah satunya. Dimulai saat ia yang satu tingkat
diatasku sudah lebih dulu mahir berbahasa inggris dengan bergabung dalam Klub
Ekstrakurikuler “English Club”. Aku sangat tertarik di fase itu, sebagai anak
kelas 3 SD aku menganggap bahwa berbagai jenis kegiatan yang dilakukan kelompok
ekskul tersebut sangat keren dan menjadi bagian di dalamnya tentu sangat
menyenangkan. Hingga tepat satu tahun berikutnya, para siswa kelas 4 sudah bisa
mendaftar dan yang terpilih seleksi akan lolos sebagai anggota tetap ekskul
tersebut.
Kemampuan berbahasa
inggrisku saat itu masih sangat jauh dibawah rata-rata. Aku hanya mampu
mengerti materi yang sudah diajarkan di kelas saja. Tidak lebih. Untuk seleksi
tulis aku merasa masih bisa mempelajarinya dengan mengambil beberapa maklumat
di buku pelajaran dalam kelas. Bahkan aku masih ingat betul, saat akhirnya aku
lolos masuk ke tahap akhir yaitu speaking. Sang Tutor yang bernama Mr. Andi and
Mrs. Ita memberi satu naskah cerita sederhana berbahasa Inggris. Aku sama
sekali tidak tahu bagaimana cara menceritakan ulang dari alur cerita yang bisa
kupahami. Aku tidak tahu bagaimana caranya, yang terlintas dipikiranku saat itu
hanyalah menghafal. Ya, benar. Akhirnya aku putuskan untuk menghafalkan hampir
seluruh cerita yang tertulis dalam lembar naskah tersebut. Bahasaku sangat kaku
dan cerita yang kusampaikan terdengar monoton. Sama sekali tidak menghibur. Entah
berdasarkan apa standarisasi penilainnya, akhirnya aku masuk menjadi bagian
anggota “English Club”. Dengan almamater warna merah jambu muda, aku sangat
bangga mengenakannya saat program ekskul dimulai.
Singkat cerita,
dari sanalah aku memiliki rasa kertertarikan yang lebih terhadap bahasa
inggris. Dengan beberapa pengalaman masa sekolah dasar itulah yang
mengantarkanku untuk mengenal lebih jauh dengan bahasa Internasional pembuka
wawasan dunia itu. Meski aku sama sekali tidak tampak unggul dalam saat itu (ya
sampai hari ini juga, xoxo) tapi aku sangat memperhatikan dan merekam segala
memori metode pembelajaran yang mengasyikkan di kegiatan luar kelas tersebut. Mulai
dari kegiatan harian yang diadakan di luar jam sekolah, berlatih reading,
speaking dan listening. Sampai mencari kegiatan di luar kelas dengan menemui
langsung para native speaker atau berjalan-jalan ke kawasan wisata yang
biasa didatangi turis dan seluruh anggota ‘English Club’ yang masih duduk
dibangku sekolah dasar itu berani mengaplikasikan hasil proses belajar di dalam
kelas bersama tutor-tutor yang sangat fasih berbahasa Inggris.
Semua hal yang
aku lalui agar bisa berbicara seperti orang ‘Amerika’ sungguhan tidak terjadi
secara instan. Mungkin kedua orang tuaku pun tidak menyadarinya bahwa aku
mempunyai ketertarikan yang lebih di mata pelajaran ini. Bisa jadi karena
faktor usia juga yang saat itu masih dibilang anak-anak, mereka lebih
mengarahkanku pada kemampuan di bidang akademik lainnya. Aku masih ingat betul
bahkan, salah satu buku pegangan yang diajarkan di kelas ekskul semacam Course
Book berukuran lebih besar dari buku pelajaran pada umumnya. Cover buku
halaman berwarna hijau muda selalu aku baca setiap hari. Bahkan meski masih
banyak materi-materi yang tidak aku pahami. Aku tetap semangat membacanya. Lagi-lagi,
aku meniru bagaimana cara mengucapkan kata demi kata dalam bahasa inggris
secara fasih dari kakakku.
Ada satu
rahasia lainnya yang sama sekali belum pernah aku ceritakan pada siapapun. Kali
ini akan aku beri tahu. SSsttt.. jangan bilang siapa-siapa ya!Hihi Sejak aku
jatuh cinta dengan bahasa inggris, aku jadi lebih sering mengucap kata atau
kalimat apapun yang bahkan aku tidak mengerti artinya. Namun karena aku masih
merasa malu jika berbicara bahasa inggris, ditengah-tengah lingkungan dan
teman-teman yang semuanya hampir berbahasa Jawa tanpa jeda. Aku malu atau bisa
dibilang juga malu jika berbahasa inggris. Iya takut, takut dibilang sok-sokan
dan sebagainya. Akhirnya aku memutuskan melatih kemampuan bahasa inggrisku di
dalam kamar mandi. Jadilah aku memiliki sebuah ritual yang sebelum mandi, aku
berbicara bahasa inggris dengan kosa kata apapun yang aku tahu. Setiap harinya,
jika aku mendapat kosa kata yang baru akan aku ulang-ulang dan mencari tahu
bagaimana aku bisa mengucapkannya dengan tepat dan benar.Fokus dan targetku
saat itu sederhana, jika aku berbicara dengan bahasa inggris akan terdengar
seperti orang Amerika asli. Saat itupun aku belum mnegrti tentang tenses dan
grammar. Aku sengaja menyalakan keran bak mandi agar suara yang aku ucapkan
tidak terdengar sampai luar. Akan sangat malu jika ada orang lain yang
mengetahuinya, bahkan jika itu orang tua dan kakakku sendiri. Kebiasaan inilah
yang terus aku lakukan hingga masuk bangku sekolah menengah pertama.
Semua passion
yang sangat aku senangi itu masih terus terpendam. Cita-cita untuk mengasah
skill berbahasa inggrisku itu bahkan hampir sirna saat akhirnya aku memutuskan
untuk masuk ke Madrasah Tsanawiyah atau MTs. Karena aku memiliki impian lainnya,
menjadi anak pesantren. Waktu tiga tahun yang lalui bisa dibilang membuatku
terlupa bahwa aku punya passion di bidang bahasa inggirs. Disana justru aku
menemukan keasyikan lainnya yang menurutku juga menjadi peluang untuk mencari
bakat dan skill yang aku miliki sebenarnya. Padahal, jika bisa aku tarik
kembali ada banyak hal yang bisa aku lakukan dan menjadi perantara yang
mengantarkau agar orang lain mengenalku sebagai sosok yang cukup bisa
diandalkan dalam bidang bahasa inggris. Namun jauh dari dalam lubuk hati, aku
tidak benar-benar meninggalkan bahsa inggris. Kebiasaan berceloteh di dalam
kamar mandi masih aku teruskan, bahkan aku menambah kebiasaan lainnya. Aku senang
membaca artikel atau buku bacaan dan apapun tulisannya yang berbahasa inggris.
Aku juga
senang mendengarkan lagu berbahasa inggris. Mendengarkan pidato dan mencoba
menirukannya ulang. Dan lagi, aku masih malu untuk menampakkannya di depan
umum. Semua usaha yang kulakukan demi memiliki aksen yang sama persis dengan
orang Amerika aku lakukan diam-diam. Aku tidak ingin orang lain tahu terlebih
dahulu. Biarkan aku menikmati proses sulit demi hasil yang aku sangat yakin
suatu saat bisa aku capai.
Oh ya, ada
satu bagian yang ingin aku ceritakan. Saat itu kelas 8, ada satu program yang
mendatangkan beberapa pengajar Kampung Inggris Pare. Mereka ingin melakukan
promosi sekaligus program singkat metode pembelajaran bahasa inggris yang
menarik dan seru. Semua rangkaina kegiatannya aku ikuti dengan baik karena aku sangat
antusias. Ada satu yang masih kuingat
betul, saat sesi kegiatan spelling yang mana saat itu Tutor atau kakak-kakak
pengjaranya hanya membolehkan kami berbicara bahasa Inggris. Disanalah untuk
pertama kalinya aku memberanikan diri untuk mulai berbicara dengan aksen yang
terdengar cukup fluent. Sang Tutor cukup terkejut mendengar gaya bahsa yang aku
sampaikan dan memberikan apresiasi yang sangat memanmbah eyakinanku bahwa aku
pasti bisa mengusahakan yang lebih baik.
Waktu berlalu.
Pada akhirnya aku sampai pada suatu tempat yang memberi wadah dengan tepat. Pesantren
tempat aku nyantri mewajibkan santrinya dengan dua bahasa saja atau yang lebih
dikenal dengan Bilingual Area. Setiap minggu bahasa Inggris aku sangat
bersemangat dan lagi-lagi, saat aku masih berada di kelas satu atau setara
dengan kelas X Sekolah Menengah Atas. Para pemimbing rayon merasa sedikit
terkejut dengan pola speaking yang aku gunakan. Aku mencoba menerapkan hasil
latihanku bertahun-tahun di kamar mandi selama ini, hihi.. tidak sia-sia juga
kelas level bathroom karena berguna juga, kataku dalam hati. Nah sejak aku di
pesantren inilah yang perlahan menghilangakn kebiasaanku berceloteh di kamar
mandi. Karena memang aku sudah menemukan wadah yang tepat tanpa harus merasa
malu dianggap sebagai anak suku jawa yang sok-sokan berbahasa Inggris. Aku mulai
meningkatkan kualitas speakingku dengan selalu menggenggam kamus Oxford mini di banyak kesempatan. Mencoba mencocokkan
sebuah kata dengan cara pelafalan yang benar dan tepat.
Ada satu
moment dimana aku merasa gagal untuk meraih tangga kesuksesan. Aku yang
sebetulnya masih memiliki sikap demam panggung yang luar biasa akhirnya harus
merelakan kesempatan agar bisa tampil di depan ribuan santri dalam ajang acara
besar bergengsi para santri. Padahal dalam tahap seleksi naskah, materi yang
aku tulis dibilang menarik dan bagus. Aksen dan gaya bahasa yang aku pakai juga
tepat. Namun sayang, rasa grogi dan nervous masih belum cukup dikatakan
layak tampil. Aku merasa gagal, tapi ya sudahlah. Mungkin ada kesempatan lain
yang bisa aku coba kembali.
Sampai akhirnya
aku memiliki keempatan yang jauh lebih besar. Dimulai saat masa menjadi santri
mukim yang akan naik tingkat sebagai Siswi Akhir. Kemampuan bahasa inggrisku
mulai banyak dikenal banyak teman senagkatan dan akhirnya diakui oleh guru-guru
yang menjadi pembimbing saat itu. Aku diberi amanah dan tampil dalam beberapa
kesempatan event yang mengaruskanku berbicara bahsa inggris di depan ribuan
santri. Maka minggu bahasa inggris menjdi salah satu bagian kegiatan pondok
yang sangat aku tunggu. Meski impian menjadi peserta public speaking gugur,
kesempatan besar itu tetap bisa aku rasakan dengan posisi yang berbeda. Bahkan ada
satu event besar lainnya pula yang memberiku satu tropi berharga pertama yang
bisa menjadi modalku untuk meyakinkan orang tua bahwa aku memiliki passion di
bidang ini.
Masa santriku
akan segera usai, waktu pengabdian satu tahun yang akan menjadi penentu kemana
aku akan melangkah. Aku akhirnya memberanikan diri untuk menyampaikan harapan
yang selama ini masih menjadi angan. Aku ingin meneruskan kembali impian yang
tertunda itu, bersekolah di negeri yang berbahasa ibu Inggris asli. Namun lagi,
aku dikalahkan oleh realita. Bukan aku kehilangan mimpi, hanya saja tempat
yang harus aku datangi tidak harus Negeri Barat. Arah yang sangat mungkin aku
tuju adalah Timur. Sebab jika aku mampu menaklukkan Timur, langkah kakiku masih
bisa lebih jauh menuju Barat. Namun jika Barat menjadi tumpuan utamaku, maka
Timur akan mustahil bisa aku rengkuh. Begitulah kurang lebih kesimpulan
yang bisa aku jadikan pegangan yang akhirnya meyakinkanku untuk mantab memilih
Bumi Kinanah hingg hari ini.
Setelah kisah
yang cukup panjang, meski aku tak dapat menumpahkannnya dengan detail disini. Kini
aku hidup di hari ini, passion yang begitu kuat masih tertancap. Tidak goyah
sedikitpun. Aku sangat bersyukur hidup di zaman dengan teknologi yang kian
canggih. Kini ada banyak wadah yang bisa menampung minat dana passion yang
sudah sejak dini aku perjuangkan. Aku bisa lebih bebas berekspresi saat ini.
Melalui tulisan-tulisan yang aku rangkai, aku hadirkan dalam banyak wujud yang
beragam. Aku ingin hal-hal psotif yang aku dapatkan tidak hanya aku nikamti
sendiri. Aku ingin ada orang lain yang juga tergugah karenanya. Semoga segala
hal yang aku perjuangkan tidak berakhir sia-sia.
Alasan besar
lainnya yang akhirnya baru kutemukan akhir-akhir ini. Saat pertanyaan itu
terlontar dari suara batinku sendiri. “Kenapa aku harus bisa dan lancar berbahasa
Inggris?” Jawabannya adalah, “Karena aku ingin menjadi seorang wanita muslimah
yang mengerti. Meski aku tidak cerdas dalam akademik atau yang lainnya,
setidaknya ada satu bidang bahasa yang aku mengerti dan itu yang dipahami oleh
banyak manusia di banyak belahan dunia lainnya. Aku ingin membuka wawasanku
tentang dunia, tentang apa yang saat ini banyak diperbincangkan oleh dunia. Aku
tidak boleh tertinggal.”
Perjalanan
belum usai, masih ada banyak pintu lainnya dalam bahasa Inggris ini yang belum
aku mengerti.
Semoga
bermanfaat!!
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment