Skip to main content

Coretanku

Arash Khalefa Haqiqi

 Helloo.. I'm back. Semoga platform ini belum bersarang karena sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Pun berharap pembaca setianya belum pergi menuju antah berantah. Dunia menulis yang sudah sangat kurindukan. Kembali menjadi diriku dengan versi yang sepi dan sendiri. My latest update. Satu bulan dua puluh tiga hari menjadi ibu. Tubuhku benar-benar bukan milikku lagi. Ada sebagian dari aku yang kini menjadi milik manusia kecil yang juga tercipta dari sebagian tubuhku. Menjadi sosok baru yang sedang bertumbuh. Senang dan penuh haru rasanya menjadi sosok ibu baru. Tapi juga rasanya seperti ada kepingan mimpi lainnya yang semakin bias. Seperti sudah menjadi skenario paten di dunia ini bahwa yang datang akan pergi. Yang menetap, membuat yang tadinya ada akan beranjak meninggalkan. Aku kehilangan dunia lamaku, berganti menjadi bahwa dirikulah dunia bagi anakku. Jari-jari kecil yang saat ini sudah mulai belajar meraih dan menggenggam tanganku. Mata kecil yang berbinar menatapku dengan ta...

Manusia-manusia penghuni Azhar

Dinamika kampus Azhar akhirnya kembali berjalan. Tepat pukul 9 pagi di setiap harinya gerbang kampus selalu penuh sesak dengan para Mahasiswi yang bersiap untuk mengikuti jadwal perkuliahan. Bahkan para pedagang pun tak ingin melewatkan kesempatan ini. Bagi mereka, banyaknya mahasiswi yang rajin datang kampus juga sangat menguntungkan bagi mereka. Semakin banyak yang hadir, maka peluang pundi-pundi pound yang mereka dapatkan juga semakin penuh. Setidaknya itu yang mereka harapkan.

Coretan kali ini tak akan membahas tentang rajinnya Mahasiswi yang rajin duduk di Aula kampus. Juga bukan ramainya kantin di sepanjang waktu kampus aktif. Tulisan ini sedikit berkisah tentang sisi lain dari Azhar. Ada jiwa-jiwa yang sedikit terabaikan. Entah mengapa aku sangat berempati padanya. 
Kukira Mesir dengan sebutan kiblat ilmu dan warisan sejarahnya menjadikan seluruh warga lokal hidup dalam naungan kesejahteraan. Rupanya tidak, semuanya berbanding jauh sekali. Si kaya dengan segala fasilitas kehidupan yang serba ada. Juga ada si kurang mampu yang hidup dengan segala keterbatasan yang ada. Aku tak ingin menyebutnya dengan si miskin, karena kurang sedap saja untuk didengar. 

Jika beberapa orang jalanan dan pengemis yang berjualan tissu harga satu pound sudah dari awal kulihat setiba di Mesir. Tapi berbeda dengan mereka yang bernasib sama yang kutemui di sepanjang trotoar sebelum gerbang kampus. Aku baru berkenalan dengan mereka semua ketika sudah berstatus mahasiswi Azhar setelah adanya pelegalan ijroat (red.daftar ulang). Mereka berada telat di posisi yang sama setiap harinya.

 Yang pertama, seorang ibu dengan bayi kecil dalam pangkuannya. Ia selalu duduk di bawah tiang lampu dengan beberapa tumpukan tissu yang ia tata di depan. Ia memiliki satu anak lelaki lainnya yang juga ikut membantu berjualan tissu. Hanya saja bocah kecil itu selalu berpindah tempat, berharap lebih dari para Mahasiswi cantik yang berhati mulia. Dan setiap kali ada mata yang menatap bayi mungilnya, ia berucap "Rabbuna yunagahku gamian. Ya Rabbi.." dengan logat Mesir yang kental.

Kedua, seorang kakek tua bersorban putih lusuh yang senantiasa terlilit di wajah hitam keriputnya. Ia hanya duduk terdiam tanpa pernah mengucap sepatah katapun. Mengiba dari pejalan kaki yang budiman. Tak ada tissu maupun barang dagangan yang dijajakan, hanya menginginkan sehelai iba dari siapa saja.

Ketiga, seorang ibu tanggung. Kutaksir usianya sekitar lima puluhan. Ia membawa tas gendong cukup besar yang entah apa isinya. Di kedua tangannya penuh dengan tissu yang ia tawarkan pada siapapun. Tapo terkadang, ia juga membawa permen ataupun gula-gula untuk dijajajakan pula. Ibu satu ini lebih terlihat aktif di banding lainnya. Terlihat lebih energik dengan memohon kepada siapa saja yang melewatinya. Juga berharap masih ada banyak orang baik yang bersedia membeli dagangannya.

Keempat, seorang kakek pula yang duduk disamping sebuah kotak. Aku tak tahu apa, sepertinya kotak listrik berpintu logam. Ia senantiasa bersenandung, aku terlalu jelas dengan apa yang diucapkannya. Kurang lebih seperti ini"Wa addinii habibillah.." yang intinya siapapun yang mengasihi beliau akan senantiasa menjadi kesayangan Allah. Kurang lebih begitu. Ia membawa sebuah kerdus coklat dengan sekotak permen minta juga beberapa tissu. Tujuannya pun sama, mengharap kemurahan hati dari siapa saja.

Keempat manusia tadi yang selalu menempati posisi yang sama. Mereka selalu datang tiap harinya. Mungkin sudah bersiap saat masih petang sebelum shubuh menjelang. Kami yang Mahasiswi Azhar kalah rajin dengan kesemangatan mereka mencari penghidupan. Malu sebenarnya. Aku saja yang sudah hidup dengan segala fasilitas yang kupunya terkadang sering surut dengan kesemangatan yang ada. Masih banyak memikirkan hal lain yang bukan tanggunganku. Bagaimana dengan merekabyang bahkan sekedar mengisi perut saja sudah susah. Harus mengharap iba dahulu dari orang lain. 

Di bagian lainnya bahkan jauh lebih banyak lagi manusia-manusia yang bernasib sama. Aku tak perlu memprotes Tuhan akan hidup mereka. Semua ini justru mengajarkanku agar lebih bersyukur. Bahkan satu keping pound yang diberi, seakan jutaan harapan bagi mereka.

Masih ada satu lainnya yang ia tak selalu hadir tiap harinya. Seorang bapak mungkin sekitar lima puluhan usianya. Duduk di atas kursi roda dengam satu kaki yang sudah tiada. Bukan aku jijik melihatnya, aku hanya tak tega jika harua melewati bapak tersebut. Akutak pernah bisa melihat manusia dengan keadaan seperti itu. Jadi terkadang, maafkan diri ini yang selalu menghindar melewati bapak satu ini. Sesekali jika aku bisa membantu akan kulakukan. Kemarin, kulihat ada seorang Mahasiswi Mesir bercadar yang membantu mendorong kursi roda bapak tersebut menyeberang jalan. Dari kejauhan bisa kulihat. Tersentuh, masih ada orang yang berbaik hati untuk bapak tersebut.

Dari semua ini mengajarkanku untuk lagi, bersyukur dengan semua yang Allah berikan. Sudahkah kamu bersyukur hari ini? 🤗😊



#selamat hari senin
#jangan lupa sholawat

Comments

Popular Posts