Skip to main content

Coretanku

Arash Khalefa Haqiqi

 Helloo.. I'm back. Semoga platform ini belum bersarang karena sudah lama ditinggal oleh pemiliknya. Pun berharap pembaca setianya belum pergi menuju antah berantah. Dunia menulis yang sudah sangat kurindukan. Kembali menjadi diriku dengan versi yang sepi dan sendiri. My latest update. Satu bulan dua puluh tiga hari menjadi ibu. Tubuhku benar-benar bukan milikku lagi. Ada sebagian dari aku yang kini menjadi milik manusia kecil yang juga tercipta dari sebagian tubuhku. Menjadi sosok baru yang sedang bertumbuh. Senang dan penuh haru rasanya menjadi sosok ibu baru. Tapi juga rasanya seperti ada kepingan mimpi lainnya yang semakin bias. Seperti sudah menjadi skenario paten di dunia ini bahwa yang datang akan pergi. Yang menetap, membuat yang tadinya ada akan beranjak meninggalkan. Aku kehilangan dunia lamaku, berganti menjadi bahwa dirikulah dunia bagi anakku. Jari-jari kecil yang saat ini sudah mulai belajar meraih dan menggenggam tanganku. Mata kecil yang berbinar menatapku dengan ta...

If they asked me 'when'?

 


Bertahun-tahun mengenyam bangku sekolah sejak usia empat tahun, dilanjut lima tahun mengolah diri dalam sistem pendidikan pesantren, ditambah lagi lima tahun berikutnya bertahan di negeri orang. Sekarang  Alhamdulillah juga sudah ditempatkan di lingkungan kerja yang itu artinya  aku mulai bisa bebas finansial dari orang tua. Sekarang pertanyaan besar nan mencekam itu sudah mulai berdatangan. Kapan nikah? Calonnya sudah datang kah? Sudah dilamar belum? Statusnya sekarang gimana? Pertanyaan yang sangat umum bagi perempuan yang berusia diatas dua puluhan. Kalau aku bisa membalas, "Memangnya saya juga tidak ingin menikah?" Aku rasa pernikahan bagi sebagian perempuan, atau bahkan juga laki-laki menjadi sebuah impian besar yang setidaknya pernah dirasakan sekali seumur hidupnya.

Hmmm, I can't be naive but could I say that purpose of life isn't always about getting married?

Aku berada di usia seperempat abad dan hidup dalam lingkungan orang-orang pribumi yang sarat akan adat istiadatnya. Tidak bisa menyalahkan sepenuhnya mereka yang menanyakan pertanyaan serupa. Seorang perempuan yang sudah selesai dengan masa sekolahnya dianggap sudah seharusnya menyandang status sebagai seorang “istri”.  Menikah, hidup damai dengan mengurus suami dan anak-anaknya. Aku sudah menyimpan banyak maklum untuk itu. Jangankan orang lain, diri sendiri saja ribuan kali bertanya pada Yang Kuasa, ‘kapan giliranku tiba?’

Seiring usiaku yang semakin bertambah, dalam beberapa hal aku mulai merasa pikiranku juga ikut tumbuh mendewasa. Pada masanya, saat usiaku masih di angka belasan, masih sangat belia. Sangat mendamba untuk menikah di usia muda. Bayangan untuk hidup damai dan tenang sebagai perempuan yang sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, memasak dan mengurus anak di rumah. Mungkin kisaran dua puluh satu hingga dua puluh tiga. Kini, angka yang aku inginkan itu sudah terlewat beberapa tahun di belakang sana. Aku memaknai kata pernikahan kini tak jauh dari kata rezeki dari-Nya.

Sebagaimana takdir yang kita tahu, begitu pula dengan rezeki yang bagiannya bahkan sudah ditentukan jauh sebelum ruh kita ditiupkan ke dunia. Sedangkan esensi rezeki yang aku pahami juga tak selalu berupa harta dan materi duniawi. Apapun nikmat yang kita terima, sedikit banyaknya itulah terdapat rezeki yang sudah Allah bagi sesuai porsinya untuk kita. Tapi tidak artinya juga aku hanya berdiam diri, aku berusaha dan berikhtiar. Memperbaiki diri juga termasuk dari sebagian usahanya. Menjemput pasangan juga bukan berarti mengejar laki-laki dalam makna yang sebenarnya.

Mungkin Allah belum mengirimkannya untukku sekarang, sebab ada banyak hal yang harusnya aku perbaiki terlebih dahulu. Ada banyak ilmu yang belum aku pelajari sebelum tiba saatnya nanti. Allah pasti akan beri saat diri ini sudah siap seutuhnya, meski kata ‘siap’ itu tidak sepenuhnya terukur dalam satuan angka. Berusaha bersabar dalam kata penantian kini menjadi topik teratas yang dibahas berulang. Agar saat waktunya tiba, aku bisa menerima seutuhnya dalam kondisi yang bisa aku pertanggung jawabkan.Membersamai seseorang sehidup sesurga, menjadikan surga selangkah lebih dekat.

Karena pernikahan adalah proses belajar sepanjang perjalanan. Sebuah ibadah terpanjang yang tidak bisa dihentikan. Bukan juga tentang siapa yang akan banyak berkorban nantinya. Menentukan satu nama yang kelak dipilih akan menjadi keputusan terbesar yang bukan tidak dipikirkan. Aku sedang menjemput saat itu, dengan sebuah roda yang sedang berputar menujunya. Aku percayakan seutuhnya pada Dzat Yang Paling Berkuasa atas diri ini. Aku masih terus berdoa, bahwa rezeki ini dan semua kata tunggu yang aku perjuangkan akan terbayar. Bahkan jika waktu itu tidak diberi di dunia.

Aku menulis ini, bukan karena aku terburu-buru. Bukan, sungguh bukan!! Tapi sungguh, aku lelah dengan apa-apa yang orang lain tanyakan itu.

رؤية العالم حلم كل شخص لكن رؤيتك حلمي الوحيد

و لا تقل بأنك تحبني ما لم تعنيه حقا لأنني قد لأصدقك

كل الأمور على ما يرام في النهاية, إن لم تكن لك, فتلك ليست النهاية

Landungsari, Dau, Malang

Rabu, 7 Desember 2022

10.33 WIB

Comments

Popular Posts